Suka Duka Kerja di Vads (Bagian II)

RESMI JADI STAF

Masih kuingat, aku resmi bekerja di vads bulan Januari 2017. 6 bulan pertama, aku handle CSP Technical Assurance untuk produk “Strimiks”, hampir sama kayak Speedy di Indonesia. Karena terbiasa pakai bahasa Inggris normal (aksen US), di sini aksen harus diganti dengan manglish alias Malaysian English. Aneh? Iya pake banget, tapi lucu sih. Kalau biasanya kita denger Upin Ipin di TV, aku justru bisa mendengar langsung aksen itu.  Jadi di bagian technical assurance ini, aku melayani permasalahan teknis terkait internet. Misal internet mati, lelet, intermittent, jadi kita bantu troubleshooting dan bikin laporan ke teknisi on site.

Kerja jadi call center di vads harus siap mental dan hati, vroh. Kudu siap menerima cacian, hinaan hingga makian kasar dari customer, apalagi handle bagian internet complain. Di mana-mana, kalau wifi internet lelet atau bahkan mati pasti udah emosi kan. Apalagi berhari-hari, ngamuk pasti. Beberapa kali aku dapet supervisor case karena hard customer. Pernah diteriakin sampe bener-bener si customer suaranya ilang karena marah teknisi gak dateng-dateng, dicurhati customer yang kerjaannya gak kelar-kelar, bahkan ada yang marah-marah karena aku nggak bisa nemuin customer ID nya, eh ternyata dia salah sambung nomor call center. Kampret lah. Banyak yang aneh dan ngeselin asli! Kerja di sini ada beberapa sif. Paling pagi masuk pukul 8 pagi-5 sore. Sif terakhir masuk pukul 12-9 malam.

Kalau sif pagi,  jam 7.45 semua agen wajib dan harus udah ada di depan komputer untuk menyiapkan sistem. Jam 8 tepat semua harus sudah login dan ready for the war. Dalam 8 jam kerja itu, kita dapat waktu break 2 kali. 1 jam untuk lunch, 30 menit untuk istirahat yang bisa dipakai untuk ke toilet, salat atau terserah mau ngapain. Tapi kalau pas lagi jam padat, kita harus rela 30 menit itu hangus tak bersisa. Pernah suatu ketika call sedang padat-padatnya. Ada trobel kabel di suatu kawasan dan itu sudah berhari-hari, dan ini berdampak sama hilangnya waktu ishoma 30 menit. Alhasil kita harus ngempet kencing dan kalau salat harus ijin dulu, antre dulu. Cih! Salat pun jadi nggak khusyuk, dikerjar-kejar time keeper suruh kerja lagi.

 Tapii ada juga yang lucu dan menyenangkan. Hal yang bikin seneng salah satunya dapat pujian dari customer karena kinerjanya bagus. Jadi di akhir obrolan, kita minta customer buat kasih rate tentang kinerja. 9-10 perfect, 8-7 good, 6-1 Bad. Yah, kaya permintaan jempol buat Abang Gojek gitu deh. Nantinya rate akan diakumulasi diakhir bulan, nah, Member tim yang paling banyak NES atau rate tertinggi akan dapet reward dari Team Leader masing-masing. 6 bulan berikutnya, aku dan beberapa teman upgrade ke bagian “Yunifai”, generasi internet fiber biar lebih lancar pencernaannya *apaan dah*

Setelah enam bulan lebih itu, ternyata aku nggak tahan. Hati ini terlalu lelah jika dipaksakan menerima cacian dari warga tetangga (hilih) pengen keluar tapi nanti dapet penalti, kalau diteruskan kok sakit hati. Dengan tetap bismillahi tawakkaltu, aku tetep lanjutin hingga 6 bulan kedepan di Vads. Menghabiskan kontrak 1 tahun. Alhamdulillah, ada banyak hal yang buat aku betah di sana. Lingkungan kerja ternyata cukup asyik untuk bergosip. Hehe. Eh tapi beneran, di floor –sebutan area kerja di vads, suasananya boleh dibilang seperti warnet, aku bingung sih nyebutnya apa, tapi yaa emang kayak warnet. Berkubikel dan berderet panjaaang, jadi kalau mau ngobrol sama rekan ya leluasa banget. Curhatan langsung kedengaran saat itu juga, jadi emang wajib waspada. Tapi justru itu yang membuat suasana kantor jadi hype! Banyak anak muda, jadi energinya kerasa banget. Tiap Jumat, floor ada ritual khusus di pagi hari. Senam! Yap, biar lebih semangat sebelum kerja ada senam pagi yang dipandu oleh QA tersayang. Meskipun senam, tapi gerakannya gak senam, lebih ke tarian penggoda lelaki. Wahaha...bikin ngakak parah. Selain itu di kantor ada fasilitas olahraga. Bukan nge-gym sih, tapi ada kegiatan olahraga bareng seperti badminton, zumba, dan yoga. Biar nggak stress aku coba ikuti semuanya kalau pas dapat sif pagi. Alhamdulillah, kegiatan olahraga ternyata cukup membantu mengurangi stres. Justru aku malah ketagihan sama zumba sampai sekarang. Hahaha. Nanti aku bakal bahas zumba di postingan lain yak.

Bulan demi bulan berganti, perasaan ingin menyudahi bekerja terus menggentayangi (uopoo). 10 bulan sudah aku kerja jadi TKI di negeri sendiri. Makin lama makin nggak kuat denger makian dan sumpah serapah dari para jiran. Ya Lord, ini kerja apa dikerjain? Salat pun jadi tidak konsen dan sering molor. Bahkan aku pernah cekcok dengan time keeper karena aku nggak minta ijin salat. Padahal waktu itu 15 menit lagi udah masuk azan isya sementara aku belum salat maghrib karena nge-drag (istilah telepon durasi panjang krn troubleshooting manual). Bodo amat, aku langsung ngacir keluar floor.

Maka ketika menginjak bulan ke 11, aku langsung meminta one month notice. Ini semacam pemberitahuan kalau aku nggak nerusin kontrak satu bulan sebelum jatuh tempo. Dan Bismillah, tepat bulan Januari aku resmi tidak meneruskan kontrak dan kembali keperaduan. Masuk baik-baik, maka keluar pun juga harus baik-baik. Berat memang rasanya, satu tahun yang luar biasa. Impian tinggal di Jogja pun sudah kesampaian. Punya teman-teman yang gokil, tim yang kece, dan suasana di tempat kerja yang super hype justru yang bakal aku rindukan. Bekerja di sana tidak salah, aku paham Vads hanya membantu untuk menyediakan SDM buat pihak ketiga. Peraturan tetap milik klien Vads yang dalam hal ini adalah TM. 

Nggak rugi-rugi amat kok kerja di sini, kalau ditanya salary sih bisa dibilang cukup banget untuk daerah Jogja. Area kerja pun di tengah kota jadi kalau mau cari makan gampang, suasana kantor juga cukup nyaman. Bagi orang yang indoor oriented, pekerjaan ini mendukung banget untuk lebih bersantai. Tapii kalau orang outdoor, kerjaan ini justru jadi neraka karena Cuma terkungkung dan nggak bisa mengembangkan diri. Dulu aku sendiri beranggapan kalau kerja jadi call center mudah. Tinggal angkat telepon, bicara, bikin laporan, udah. Meski kelihatan mudah, padahal kerjaan ini perlu skill yang tinggi dan kesiapan mental. Iya, mental. Apalagi karakter customer beda-beda, terutama orang luar, sudah pasti kesiapan mental untuk menerima sumpah serapah menjadi sangat penting. Bersyukur aku pernah merasakan jadi posisi call center, dari situ aku paham untuk tidak meyepelekan suatu pekerjaan dan lebih menghargai mereka yang masih bekerja sebagai agen. Yah setidaknya untuk hal yang sederhana.<>