Pilih Pindah Kerja


Langit Yogyakarta depan kantor



Aku ingat betul perasaan ketika kali pertama menginjakkan kaki di kota gudeg. Kebebasan. Ya, sudah sejak lama aku berkeinginan tinggal di Yogyakarta dan keluar dari zona nyaman keluarga di Solo. Setelah gagal mendaftar di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta, yang belakangan aku tahu karena Ayah dan Ibu tidak rida, aku bertekad akan tetap tinggal di sana suatu saat nanti. Apapun caranya. Maka setelah lulus dari perguruan tinggi negeri di Solo, aku gigih mencari perkerjaan di Yogyakarta.
Alhamdulillah, tiga bulan setelah wisuda, akhirnya harapan itu muncul. Aku diterima di salah satu perusahaan outsource telekomunikasi di daerah Sleman. Ku coba untuk meyakinkan Ayah dan Ibu bahwa ini saatnya ajang pembuktian diri bahwa aku mampu hidup diperantauan dan di sanalah tempat yang cocok untuk mengimplementasikan ilmu yang kudapat selama kuliah. Apalagi gaji yang ditawarkan cukup menggiurkan untuk fresh graduate sepertiku. Akhirnya Ayah dan Ibu mengalah dan meridai aku bekerja di Yogyakarta.
Awal masa bekerja di perusahaan tersebut aku merasa senang dan bangga. Dengan upah yang bisa dibilang cukup tinggi untuk UMR Sleman, aku bisa mencukupi kebutuhan sendiri tanpa meminta orangtua lagi. Bahkan bisa dibilang turah-turah dan bisa ‘menggaji’ orangtua. Namun perasaan itu tidak bertahan lama. Seiring tuntutan pekerjaan yang semakin tinggi, maka tingkat stres juga bertambah. Aku sering pulang malam dan mudah sakit. Aku ingat ketika Ramadan tiba, baru kali itu aku tidak merasakan nikmatnya mencari pahala. Aku mulai jarang mengaji bahkan hampir-hampir tidak ke masjid untuk salat tarawih berjamaah karena selalu pulang malam. Selain itu perusahaan memiliki aturan pembatasan waktu untuk jam makan siang, ke toilet dan juga beribadah untuk menjaga kedisiplinan tim. Puncak konflik muncul ketika aku meminta waktu beribadah salat maghrib kepada atasan, namun diminta untuk menunda 45 menit dengan alasan banyaknya customer yang harus di-handle saat itu juga. Tidak tahan dan merasa semakin jauh dari Allah Swt, aku memutuskan mengakhiri masa kontrak satu tahun kerja dan kembali ke Kota Solo.
Pengalaman selama satu tahun tersebut membuatku tersadar bahwa meski berpenghasilan tinggi, kalau jauh dari Allah dan orangtua ternyata tidak mendatangkan kebahagiaan. Dan bahwa rida orangtua juga memiliki andil besar untuk kesuksesan. Kini, meski berpenghasilan lebih kecil dibanding sebelumnya, Alhamdulillah aku merasakan kebahagiaan dengan lingkungan pekerjaan yang selalu mengajakku dalam ibadah dan kebaikan. Insyallah. <IFA>

Catatan : Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Hadila “Saat Jarak Memisahkan” 2018



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suka Duka Kerja di Vads (Bagian II)

[RESENSI BUKU] : Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta? Cerpen Pilihan KOMPAS 2015

Suka Duka Kerja di Vads (Bagian I)